Rabu, 11 Mei 2016

IJMA' DAN QIYAS

Diposting oleh Unknown di 05.56 5 komentar
USHUL FIQIH
TENTANG
IJMAK DAN QIYAS

MAKALAH
DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuTugas
 pada Mata Kuliah Usul Fiqih
Dosen Pengampu: M. Rodli M.pd.


Oleh :
1.      Much. Nasih Amin    (2013115210)
2.      Riyan rosyada           (2013115211)
3.      Kherianah                (2013115205)
4.      Mufrodah                  (2013115218)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
   Alhamdulillah penyusunan makalah Usul Fiqih tentang Ijmak dan Qiyas untuk presentasi dalam rangka mendukung proses pembelajaran ini dapat terselesaikan.
            Makalah Usul Fiqih tentang Ijmak dan Qiyas ini berisi tentang materi Ijmak dan Qiyas yang berpedoman pada buku-buku Usul Fiqih yang ada. Penyusun telah melakukan yang terbaik.
            Makalah ini dapat terselesaikan karena adanya keaktifan dari kelompok dan berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang mendukung kami, diantaranya M. Rodli, M.pd selaku Dosen pengampu dan teman-teman Ekonomi Syariah kelas G, serta tim penyusun yang telah bekerja keras untuk menyelesaikan makalah ini. Namun dalam penyusunan masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kami mengharap kritik dan sarannya dari pembaca yang budiman, sehingga kami dapat memperbaikinya dilain kesempatan.
            Akhirnya, makalah ini diharapkan dapat membantu proses pembelajaran khususnya di ekonomi syariah kelas G.

 Pekalongan,                                                           2016

Tim Penyusun            








DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................          i
KATA PENGANTAR..............................................................................          ii
DAFTAR ISI..............................................................................................          iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................          1
A.    Latar Belakang.............................................................................          1  
B.     Rumusan Masalah.........................................................................          1
C.     Tujuan...........................................................................................          1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................          2
A.    Ijmak.............................................................................................          2
1.      Pengertian Ijmak.....................................................................          2
2.      Syarat-syarat Ijmak.................................................................          4
3.      Macam-macam Ijmak..............................................................          6
4.      Dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan Ijmak....................          7
B.     Qiyas.............................................................................................          13
1.      Pengetian Qiyas......................................................................          13
2.      Rukun Qiyas...........................................................................          14
3.      Kehujjahan Qiyas....................................................................          14
BAB 3 PENUTUP.....................................................................................          16
1.      Kesimpulan.....................................................................................          16
2.      Saran...............................................................................................          16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................          17











BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al Karim. Kemudian sumber hukum agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Al Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang tidak terdapat solusinya dalam Al Qur’an dan Hadits. Oleh karena, itu ada sumber hukum agama islam yang lain, diantaranya Ijma dan Qiyas. Namun, Ijmak dan Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an dan Hadits karena Ijmak dan Qiyas merupakan penjelasan dari keduanya.
       B. Rumusan Masalah
1.       Apa yang dimaksud dengan Ijmak dan Qiyas?
2.       Bagaimana Ijmak dijadikan sebagai sumber hukum?
3.       Bagaimana Qiyas dijadikan sebagai sumber hukum?
     C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Ijmak dan Qiyas
2.      Untuk mengetahui kehujjahan Ijmak sebagai sumber hukum
3.      Untuk mengetahui kehujjahan Qiyas sebagai sumber hukum







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ijmak
1.      Pengertian Ijmak
a)      Menurut bahasa
Definisi Ijmakmenurut bahasa terbagi menjadi dua arti:
1)      Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Yunus ayat 71:




Artinya:
“Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakannya). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus : 71)
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman­-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh. Dan hadits Rasulullah SAW. Yang artinya, “Barang siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
2)      Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-Ijmak bila mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan saudara-saudara Yusuf a.s. :



Artinya:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf, “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.”
(QS. Yusuf: 15)
Yakni mereka bersepakat terhahdap rencana tersebut.
Adapun perbedaan antara kedua arti di atas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
b)      Ijmak menurut istilah ulama ushul
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan Ijmak menurut istilah, di antaranya:
Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijmak itu adalah kesepakatan semua mujahid dari Ijmakumat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
Pengarang kitab tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa Ijmak adalah kesepakatan mujahid suatu masa dari Ijmak Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.[1]
2.      Syarat-syarat Ijmak
Dari definisi ijmak di atas dapat diketahui bahwa ijmak itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
a)      Yang bersepakat adalah para mujahid
Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab jami’ul jamawi disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih. Dalam sulam ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama Ijmak sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat diatas, ada juga yang memandang mujtahidsebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat Al-Wadih dalam kitab isbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah Ahlu al-halli wal aqdi.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaann bahwa yang dimaksud mujtahid adalah  orang islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh)  atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid  tidak bisa dikatakan Ijmak, begitu  pula penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’.
Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi  Ijmak. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tidak bisa dikatakan Ijmak, karena tidak mungkin seorang bersepakat dengan dirinya. Dengan demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan Ijmak bila  dilakukan oleh  tiga orang atau lebih. Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat. Ada yang  menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dikatakan Ijmak. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, hal itu termasuk Ijmak, karena mewakili kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa itu.
b)      Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakatdan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan Ijmak, karena Ijmak itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa Ijmak itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan Ijmak, termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar  mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai  Ijmak. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan  terhadap dalil sahih yang mereka jadikan landasan penetapan  hukum. Dan jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.
c)      Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Para ulama berbeda berpendapat tentang  arti umat Muhammad SAW. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad SAW. adalah orang-orang mukallaf dari golongan Ahl Al-haalli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad SAW. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah orang muslim, berakal, dan telah baligh.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan Ijmak. Hal itu menunjukkan adanya umat para Nabi lain yang ber-Ijmak. Adapun Ijmakumat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-Ijmakuntuk melakukan kesalahan.
d)     Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijmakitu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.
e)      Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram,dan lain-lain.
Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali  yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Safiudin dalam Qawaidul Ushul, Kamal bin Hambal dalam kitab Tahrir, dan lain-lain.
Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannnya sebagai syarat Ijmak. Sedang Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jamawi’mengartikan zaman dalam definisi Ijmak di atas dengan zaman mana saja.[2]
3.      Macam-macam Ijmak
Macam-macam ijmak bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:
a)      Ijmak Sharih
Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarakan tersebut.
            Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu. Mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga  mengamalkan apa yang telah difatwakan tersebut, begitu seterusnya seihngga semua mujtahid menyepakati pendapat tersebut.[3]
b)      Ijmak Sukuti
            Ijmak sukuti (Ijmak diam), yakni apabila persetujuan ulama mujtahid pada pendapat ulama mujtahid lain itu dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak  mengomentari sama sekali  terhadap pendapat ulama mujtahid lain itu, namun diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan. Ijmak ini disebut dengan Ijmakdhanni (kurang meyakinkan).
Syarat-syarat adanya Ijmak  sukuti antara lain.
a.       Yang di-Ijmakkan adalah masalah ijtihadiyah.
b.      Yang di-Ijmakkan itu adalah masalah hukum taklifiyah.
c.       Hendaknya pernyataan pendapat yang disetujui (yang tidak dikomentari) itu sampai kepada semua mujtahid yang ada pada saat itu.
d.      Sikap diam itu harus betul-betul tanpa komentar sama sekali, artinya tidak ada gelagat pernyataan setuju atau tidak setuju.
e.       Sikap itu juga tidak menunjukkan tanda-tanda sikap ridla atau tidak ridla.
Sikap ulama terhadap Ijmaksukuti antara lain adalah:
a.       Imam Syafi’i, Imam Al-Baqillani dari golongan As’ariyah dan sebagian ulama Hanafi seperti Ibnu Iyan menyatakan bahwa Ijmaksukuti tidak bisa menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama yang  setuju dan tidak setuju.
b.      Al-juba’i menyatakan Ijmak sukuti bisa menjadi  hujjah sebagaimana Ijmakqauli.
c.       Imam Al-Amidi menyatakan bahwa Ijmaksukuti bisa saja menjadi hujjah, namun kehujjahannya adalah dhanni bukan qath’i.[4]
4.      Kehujahhan Ijmak
a)      Kehujjahan Ijmak sharih
Jumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang kehujjahan Ijmak antara lain:
Pertama, firman Allah SWT. dalam surat An-nisa ayat 115:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا 

Artinya:
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa:115)
Kehujjahan dalil dari ayat diatas adalah ancaman Allah SWT. terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka jahannam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mukmin adalah hak dan wajib diikuti.
Dalil yang digunakan oleh jumhur diatas dibantah kehujjahannya dalam Ijmak. Bahwa yang dimaksud jalannya orang-orang mukmin di atas adalah para pengikut Rasulullah SAW., penolongnya dan penjaga ulama mujtahid. Maka maksud ayat di atas, sesuai dengan yang ada dalam kitab Al-Burhan adalah,“sesungguhnya orang-orang yang memusuhi Rasulullah SAW., dan para penentang jalan orang-orang beriman yang menolong Rasulnya dan menjaga dari musuhnya, mereka akan dibiarkan oleh Allah mengikuti hawa nafsunya, dan akan disiksa di akhirat dengan dimasukkan dalam neraka jahannam dan ditempatkan pada tempat yang hina.
Itulah arti tekstual ayat, yang sesuai dengan asbab nuzul-nya, bahwa ayat itu berkaitan turun berkaitan dengan Bashir bin Ubairiq yang masuk Islam, tetapi kemudian ia mencuri. Nabi memerintahkan untuk memotong tangannnya, tetapi ia bisa kabur ke Mekah dengan memanfaatkan kelengahan orang-orang beriman. Di Mekah, ia juga berusaha untuk mencuri  rumah dengan cara melubangi dindingnya, dan  ia pun mati dalam keadaan kafir.
Sehubungan dengan hal itu, pada firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa ayat 48, disebutkan:



Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa:48)
Dengan demikian, jelaslah bahwa ayat di atas bukan dalil tentang Ijmak.
Pengarang At-Tahrir berkata bahwa “As-Subki pernah berkata, Imam Syafi’i meng-istinbath hukum dari dalil di atas dan menyatakan bahwa dalil itu menunjukkan kehujjahan ijmak.
Kedua, firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 143:





Artinya:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia ...”(QS. Al-Baqarah : 143)
Ayat tersebut dikemukakan oleh  Al-Amidi. Kehujjahan dari ayat tersebut adalah keadilan mereka (para mujtahid) yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima pendapat mereka seperti halnya menjadikan Rasul sebagai hujjah  dengan menerima sabdanya. Dengan mengartikan seperti itu jelas bahwa pendapat mereka merupakan  hujjah bagi yang lainnya.
Muslim Al-Tsubuht berpendapat bahwa keadilan itu tidak mesti menghilangkan kesalahan yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan maksiat. Namun, yang mesti ditekankan dari ayat tersebut adaah keutamaan Ijmak terdahulu.
Ketiga, firman Allah SWT. dalam surat Ali Imran  ayat 110:




Artinya :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar ...”(QS. Ali Imran  : 110)
Menurut pemberi  syarahkitab Al-Baidawi bahwa Allah SWT. memberi tahukan keutamaan mereka dengan menggunakan isim tafdil karena arti khair itu sama dengan tafdil. Hal itu menunjukkan bahwa kesepakatan mereka merupakan haq. Kalau tidak menunjukkan haq mereka pasti akan memerintahkan berbuat kejelekan dan melarang berbuat baik. Bila perbuatan mereka seperti itu berati sama sekali tidak ada unsur kebaikannya bahkan menyalahi nash.
Keempat, firman Allah SWT. dalam  surat Ali Imran ayat 103, yang dikemukakan oleh Amidi:
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً  فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ  فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ  مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103}
Artinya:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai ... ” (QS. Ali Imran : 103)
Kehujjaahan ayat tersebut bahwa Allah SWT. melarang untuk berpecahh belah. Sedangkan menentang Ijmak adalah salah satu bentuk perpecahan, sehingga jelas sekali bahwa hal itu dilarang.  Dengan demikian, Ijmak itu merupakan hujjah sebagaimana larangan untuk mengingkarinya.
Kelima, firman Allah SWT., surat An-Nisa ayat 59:
$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&ur͐öDF{$#óOä3ZÏB(Ï

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu ... “(QS. An-Nisa : 59)
Kehujjahan ayat di atas adalah bahwa adanya pertentangan merupakan syarat dikembalikannya permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, syarat tersebut tidak akan  ada bila telah terjadi kesepakatan terhadap hukum  yang diambil dari Kitab dan Sunah. Oleh sebab itu, Ijmak tidak diragukan lagi bahwa Ijmak itu merupakan hujjah.
Keenam, hadis-hadis yang menunjukkan terjaganya Ijmak islam dari kesalahan bila bersepakat dalam suatu perkara, diantaranya hadis-hadis di bawah ini yang artinya:
1.      “kekuatan Allah berada pada jamaah, barang siapa menguatkannya, maka ia telah menyempitkan dirinya dari neraka.”
2.      “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan Ijmak pada kesesatan.”
3.      “Tidak akan berkumpul Ijmak pada hal yang salah.”
4.      “Tidak akan melihat kaum mukmin kepada kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya baik.”
b)      KehujjahanIjmaksukuti
Ijmak sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. sebagian mereka tidak memandang Ijmak sukuti sebagai hujjahbahkan tidak menyatakan sebagai Ijmak. Diantara mereka adalah pengikut imam Maliki dan imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtiihad pada suatu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan bahwa itu qath’i atau dhanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan Ijmak ataupun dijadikan hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa Ijmak sukuti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya Ijmak sharih. Alasannya mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh seebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya Ijmak  sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai Ijmak, karena kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan seebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya Ijmakyang tidak bisa dibedakan dengan Ijmak sharih.[5]
B.     Qiyas
1.     Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan lainnnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi  yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istinbath hukum. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut  ini.
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syar’i, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat Syar’Isebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak. (Abdul Hakim, 1986: 22-24)
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka mereka memberikan definisi qiyas sebagai berikut:
a)      Shadr Asy-Syari’at menyatakan bahwa qiyas adalah pemindahan hukum yang terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.
b)      Al-Humam menyatakan  bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
Sebenarnya, masih banyak definisi lainnya yang dibuat oleh para ulama, namun secara umum qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum yang disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illat-nya.[6]
2.     Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur yang berikut:
a)      Ashl(pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya, yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang mennjadi dasar hukum. Ashl itu juga disebut maqis alaih (yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
b)      Far’u(cabang),yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Far’uitulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl.Ia disebut juga maqis(yang dianalogikan) dan musyabbah(yang diserupakan).
c)      Hukum ashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash.
d)     Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.[7]
3.     Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa qiyas itu bisa menjadi hujjah. Sedangkan Dawud Adh-Dhohiry dan Ibnu Hazm, ulama-ulama syi’ah dan sebagian mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak  menjadi hujjah.
Alasan jumhur menerima qiyas menjadi hujjah adalah mendasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
Didukung oleh hadits muadz bin jabal tatkala diutus Nabi SAW. ke yaman, yang mana dasar hukum yang dipakai adalah Al-Quran dan As-Sunnah dan Al-Ijtihad. Yang dikehendaki dengan ijtihad  menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni dengan cara mengqiyas. Dalam hadits  muadz tersebut tidaklah diterangkan secara spesifik tentang urusan ibadah atau muamalah.
Sedangkan alasan mereka yang menolak qiyas sebagai hujjah adalah karena dalam Alquran dan As-Sunnah semua peristiwa sudah ada  ketentuan hukumnya baik tersurat maupun tersirat, oleh kerenanya untuk memahami cukup dengan ijtihad. Apalagi dalam urusan ibadah makhdlah, tata cara telah dicontohkan oleh nabi SAW.[8]

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Ijmak adalah kesepakatan para mujahid dari kalangan umat islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat.
2.      Syarat-syarat Ijmak:
a.       Yang bersepakat adalah para mujahid.
b.      Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
c.       Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
d.      Dilakukan setelah wafatnya Nabi
e.       Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
3.      Macam-macam Ijmak:
a.       Ijmak Sharih (bersih atau murni)
b.      Ijmak Sukuti
4.      Qiyas ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
5.      Rukun Qiyas:
a.       Ashl
b.      Al-Far’u
c.       ‘Illat
d.      Hukum al-Ashl

B.       SARAN
Bila terdapat sesuatu yang belum belum memiliki Dasar hukum dalam suatu masalah baru maka Ijmak dan Qiyas dapat digunakan sebagai dasar pembentukan hukum.



DAFTAR PUSTAKA

Rahmad Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Satria Effendi, Ushul Fiqh,(Jakarta: Prenada Media, 2005)
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih,(Jakarta: Rineka Cipta,1995)
Saeful Hadi, S.Pd.I, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Sabda Media,2009)
Andewi Suhartini, M. Ag, Ushul Fiqh (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2009)
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Ilmu Ushul Fiqh) (Jakarta: Rajawali Pers, 1991)
Muhammad al-Ghazali, Bukan Dari Ajaran Islam (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1994)
Ahmad Hanafi,Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1970)
Mardani,Hukum Islam, (Jakarta : pustaka pelajar, 2010)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: logos wacana ilmu, 1997)



[1]. Prof. Dr. Rahmad Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, hal.68-69
[2]. Ibid,.Hal. 70-72
[3]. Ibid., hal. 72
[4]. Ahmad Abdul Madjid, Ushul Fiqih, hal. 69
[5].Prof. Dr. Rahmad Syafe’i, MA, Op cit, hal. 73-81
[6]. Ibid,. hal. 86-87
[7]. Ibid,. hal. 87-88
[8]. Drs. H. Zen Amiruddin, M. Si Ushul Fiqihhal. 100-101






NB : Mohon kritik dan sarannya dari pembaca . Mohon maaf apabila terdapat kekurangan keterangan dan keterbatasan ilmu kami yang masih membutuhkan banyak kritik yang membangun. Semoga postingan makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Wassalamm... (Kher'ianah)

Followers

 

Kher'ianah Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei