USHUL
FIQIH
TENTANG
IJMAK DAN QIYAS
MAKALAH
DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuTugas
pada Mata Kuliah
Usul Fiqih
Dosen Pengampu: M. Rodli M.pd.
Oleh :
1.
Much. Nasih Amin (2013115210)
2.
Riyan rosyada (2013115211)
3.
Kher’ianah (2013115205)
4.
Mufrodah (2013115218)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
penyusunan makalah Usul Fiqih tentang Ijmak dan Qiyas untuk presentasi dalam
rangka mendukung proses pembelajaran ini dapat terselesaikan.
Makalah Usul Fiqih tentang Ijmak dan
Qiyas ini berisi tentang materi Ijmak dan Qiyas yang berpedoman pada buku-buku
Usul Fiqih yang ada. Penyusun telah melakukan yang terbaik.
Makalah ini dapat terselesaikan
karena adanya keaktifan dari kelompok dan berbagai pihak. Untuk itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang mendukung kami, diantaranya M.
Rodli, M.pd selaku Dosen pengampu dan teman-teman Ekonomi Syariah kelas G,
serta tim penyusun yang telah bekerja keras untuk menyelesaikan makalah ini.
Namun dalam penyusunan masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kami mengharap
kritik dan sarannya dari pembaca yang budiman, sehingga kami dapat
memperbaikinya dilain kesempatan.
Akhirnya, makalah ini diharapkan dapat
membantu proses pembelajaran khususnya di ekonomi syariah kelas G.
Pekalongan, 2016
Tim
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A.
Latar Belakang............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah......................................................................... 1
C.
Tujuan........................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 2
A.
Ijmak............................................................................................. 2
1.
Pengertian Ijmak..................................................................... 2
2.
Syarat-syarat Ijmak................................................................. 4
3.
Macam-macam Ijmak.............................................................. 6
4.
Dalil-dalil yang menunjukkan
kehujjahan Ijmak.................... 7
B.
Qiyas............................................................................................. 13
1.
Pengetian Qiyas...................................................................... 13
2.
Rukun Qiyas........................................................................... 14
3.
Kehujjahan Qiyas.................................................................... 14
BAB 3 PENUTUP..................................................................................... 16
1.
Kesimpulan..................................................................................... 16
2.
Saran............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Islam sebagai agama yang sempurna
memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui
Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al Karim. Kemudian sumber hukum
agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Al
Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam
dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun, seiring dengan berkembangnya
zaman ada saja hal-hal yang tidak terdapat solusinya dalam Al Qur’an dan
Hadits. Oleh karena, itu ada sumber hukum agama islam yang lain, diantaranya
Ijma dan Qiyas. Namun, Ijmak dan Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an dan Hadits karena
Ijmak dan Qiyas merupakan penjelasan dari
keduanya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Ijmak dan Qiyas?
2.
Bagaimana Ijmak dijadikan sebagai
sumber hukum?
3.
Bagaimana Qiyas dijadikan
sebagai sumber hukum?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian Ijmak dan Qiyas
2. Untuk
mengetahui kehujjahan Ijmak sebagai sumber hukum
3. Untuk
mengetahui kehujjahan Qiyas sebagai
sumber hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ijmak
1.
Pengertian Ijmak
a)
Menurut bahasa
Definisi Ijmakmenurut bahasa terbagi
menjadi dua arti:
1)
Bermaksud atau berniat, sebagaimana
firman Allah dalam Alquran surat Yunus ayat 71:
Artinya:
“Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia
berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah
aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu
(untuk membinasakannya). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus : 71)
Maksudnya,
semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau
tempuh. Dan hadits Rasulullah SAW. Yang artinya, “Barang siapa yang belum
berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
2)
Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-Ijmak bila mereka bersepakat terhadap
sesuatu. Sebagaimana firman
Allah dalam Alquran surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan
saudara-saudara Yusuf a.s. :
Artinya:
“Maka tatkala
mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka
memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) Kami wahyukan
kepada Yusuf, “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan
mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.”
(QS. Yusuf: 15)
Yakni mereka bersepakat
terhahdap rencana tersebut.
Adapun perbedaan antara kedua arti di
atas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan
arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak
mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
b)
Ijmak menurut istilah ulama ushul
Para
ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan Ijmak menurut istilah, di antaranya:
Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijmak
itu adalah kesepakatan semua mujahid dari Ijmakumat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau
wafat terhadap hukum syara’.
Pengarang kitab tahrir, Al-Kamal bin Hamam
berpendapat bahwa Ijmak adalah kesepakatan mujahid suatu masa dari Ijmak Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.[1]
2.
Syarat-syarat Ijmak
Dari definisi ijmak di atas
dapat diketahui bahwa ijmak itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di
bawah ini.
a)
Yang bersepakat adalah para mujahid
Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid
itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath
hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab jami’ul jamawi
disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih.
Dalam sulam ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama Ijmak
sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat diatas, ada juga yang memandang mujtahidsebagai ahlu
ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat Al-Wadih dalam
kitab isbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah Ahlu
al-halli wal aqdi.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaann bahwa yang
dimaksud mujtahid adalah orang
islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath
hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan Ijmak, begitu pula penolakan mereka. Karena mereka tidak
ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’.
Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid,
tidak akan terjadi Ijmak. Meskipun ada,
tetapi hanya satu orang, itu pun tidak bisa dikatakan Ijmak, karena tidak
mungkin seorang bersepakat dengan dirinya. Dengan demikian, suatu kesepakatan
bisa dikatakan Ijmak bila dilakukan
oleh tiga orang atau lebih. Adapun
kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat. Ada
yang menyatakan bahwa hal itu tidak bisa
dikatakan Ijmak. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, hal itu termasuk Ijmak,
karena mewakili kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa itu.
b)
Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid
bersepakatdan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal
itu tidak bisa dikatakan Ijmak, karena Ijmak itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa Ijmak
itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang
dimaksud kesepakatan Ijmak, termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari
mereka. Begitu
pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
Sebagian ulama yang lain berpandangan
bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid
itu adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai Ijmak. Karena kesepakatan sebagian besar
mereka menunjukkan adanya kesepakatan
terhadap dalil sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum. Dan jarang terjadi, kelompok kecil
yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.
c)
Para mujtahid harus umat
Muhammad SAW.
Para ulama berbeda berpendapat
tentang arti umat Muhammad SAW. Ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad SAW. adalah orang-orang mukallaf
dari golongan Ahl Al-haalli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka
adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad SAW. Namun yang jelas, arti mukallaf
adalah orang muslim, berakal, dan telah baligh.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama
selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan Ijmak. Hal itu menunjukkan adanya umat
para Nabi lain yang ber-Ijmak. Adapun Ijmakumat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka
tidak mungkin ber-Ijmakuntuk melakukan kesalahan.
d) Dilakukan
setelah wafatnya Nabi
Ijmakitu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi
senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik,
dan itu dianggap sebagai syari’at.
e) Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka
haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram,dan
lain-lain.
Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut
dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam
kitab Al-Warakat, Safiudin dalam Qawaidul Ushul, Kamal bin Hambal dalam
kitab Tahrir, dan lain-lain.
Adapun mengenai masa atau zaman, para
ulama ada yang memasukkannnya sebagai syarat Ijmak. Sedang Al-Athar dalam kitab
Hasiyah Jam’ul Jamawi’mengartikan
zaman dalam definisi Ijmak di atas dengan zaman mana saja.[2]
3.
Macam-macam Ijmak
Macam-macam ijmak bila dilihat dari cara terjadinya ada dua
macam, yaitu:
a) Ijmak
Sharih
Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian
menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa
terjadi bila semua mujtahid berkumpul
di suatu tempat, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah
yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu, mereka menyepakati salah
satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarakan tersebut.
Selain itu, bisa juga pada suatu
masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu. Mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya
mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah difatwakan
tersebut, begitu seterusnya seihngga semua mujtahid
menyepakati pendapat tersebut.[3]
b)
Ijmak Sukuti
Ijmak sukuti (Ijmak diam), yakni
apabila persetujuan ulama mujtahid
pada pendapat ulama mujtahid lain itu
dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak
mengomentari sama sekali terhadap
pendapat ulama mujtahid lain itu,
namun diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan. Ijmak ini disebut
dengan Ijmakdhanni (kurang meyakinkan).
Syarat-syarat
adanya Ijmak sukuti antara lain.
a.
Yang di-Ijmakkan adalah masalah ijtihadiyah.
b.
Yang di-Ijmakkan itu adalah masalah
hukum taklifiyah.
c.
Hendaknya pernyataan pendapat yang
disetujui (yang tidak dikomentari) itu sampai kepada semua mujtahid yang ada pada saat itu.
d.
Sikap diam itu harus betul-betul tanpa
komentar sama sekali, artinya tidak ada gelagat pernyataan setuju atau tidak
setuju.
e.
Sikap itu juga tidak menunjukkan
tanda-tanda sikap ridla atau tidak ridla.
Sikap ulama
terhadap Ijmaksukuti antara lain
adalah:
a.
Imam Syafi’i, Imam Al-Baqillani dari
golongan As’ariyah dan sebagian ulama Hanafi seperti Ibnu Iyan menyatakan bahwa
Ijmaksukuti tidak bisa menjadi
hujjah, sebab kemungkinan ada ulama yang
setuju dan tidak setuju.
b.
Al-juba’i menyatakan Ijmak sukuti bisa
menjadi hujjah sebagaimana Ijmakqauli.
c.
Imam Al-Amidi menyatakan bahwa Ijmaksukuti bisa saja menjadi hujjah, namun
kehujjahannya adalah dhanni bukan qath’i.[4]
4.
Kehujahhan Ijmak
a)
Kehujjahan
Ijmak sharih
Jumhur mengeluarkan
beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang kehujjahan Ijmak antara
lain:
Pertama,
firman Allah SWT. dalam surat An-nisa ayat 115:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa:115)
Kehujjahan dalil dari
ayat diatas adalah ancaman Allah SWT. terhadap mereka yang tidak mengikuti
jalannya orang-orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka
jahannam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa
jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan
haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mukmin adalah
hak dan wajib diikuti.
Dalil yang digunakan oleh jumhur diatas
dibantah kehujjahannya dalam Ijmak. Bahwa yang dimaksud jalannya orang-orang
mukmin di atas adalah para pengikut Rasulullah SAW., penolongnya dan penjaga
ulama mujtahid. Maka maksud ayat di
atas, sesuai dengan yang ada dalam kitab Al-Burhan adalah,“sesungguhnya
orang-orang yang memusuhi Rasulullah SAW., dan para penentang jalan orang-orang
beriman yang menolong Rasulnya dan menjaga dari musuhnya, mereka akan dibiarkan
oleh Allah mengikuti hawa nafsunya, dan akan disiksa di akhirat dengan
dimasukkan dalam neraka jahannam dan ditempatkan pada tempat yang hina.
Itulah arti tekstual ayat, yang sesuai
dengan asbab nuzul-nya, bahwa ayat itu berkaitan turun berkaitan dengan Bashir
bin Ubairiq yang masuk Islam, tetapi kemudian ia mencuri. Nabi memerintahkan
untuk memotong tangannnya, tetapi ia bisa kabur ke Mekah dengan memanfaatkan
kelengahan orang-orang beriman. Di Mekah, ia juga berusaha untuk mencuri rumah dengan cara melubangi dindingnya, dan ia pun mati dalam keadaan kafir.
Sehubungan dengan hal itu, pada firman Allah
SWT. dalam surat An-Nisa ayat 48, disebutkan:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa:48)
Dengan demikian,
jelaslah bahwa ayat di atas bukan dalil tentang Ijmak.
Pengarang At-Tahrir berkata bahwa “As-Subki pernah berkata, Imam Syafi’i
meng-istinbath hukum dari dalil di atas dan menyatakan bahwa dalil itu
menunjukkan kehujjahan ijmak.
Kedua, firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 143:
Artinya:
“Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (Umat Islam
dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas
perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat)
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia ...”(QS. Al-Baqarah : 143)
Ayat tersebut dikemukakan oleh
Al-Amidi. Kehujjahan dari ayat tersebut adalah keadilan mereka (para mujtahid) yang menjadi hujjah bagi
manusia untuk menerima pendapat mereka seperti halnya menjadikan Rasul sebagai
hujjah dengan menerima sabdanya. Dengan mengartikan
seperti itu jelas bahwa pendapat mereka merupakan hujjah bagi yang lainnya.
Muslim Al-Tsubuht berpendapat bahwa keadilan itu tidak mesti menghilangkan
kesalahan yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan maksiat. Namun, yang mesti
ditekankan dari ayat tersebut adaah keutamaan Ijmak terdahulu.
Ketiga, firman Allah SWT. dalam surat Ali Imran ayat 110:
Artinya :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar ...”(QS. Ali
Imran : 110)
Menurut pemberi syarahkitab Al-Baidawi bahwa Allah SWT. memberi tahukan keutamaan
mereka dengan menggunakan isim tafdil karena
arti khair itu sama dengan tafdil. Hal itu menunjukkan bahwa
kesepakatan mereka merupakan haq. Kalau tidak menunjukkan haq mereka pasti akan
memerintahkan berbuat kejelekan dan melarang berbuat baik. Bila perbuatan
mereka seperti itu berati sama sekali tidak ada unsur kebaikannya bahkan
menyalahi nash.
Keempat, firman Allah SWT. dalam
surat Ali Imran ayat 103, yang dikemukakan oleh Amidi:
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103}
Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai ... ” (QS. Ali Imran : 103)
Kehujjaahan ayat tersebut bahwa Allah SWT. melarang untuk berpecahh belah.
Sedangkan menentang Ijmak adalah salah satu bentuk perpecahan, sehingga jelas
sekali bahwa hal itu dilarang. Dengan
demikian, Ijmak itu merupakan hujjah sebagaimana larangan untuk mengingkarinya.
Kelima, firman Allah SWT., surat An-Nisa ayat 59:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&urÍöDF{$#óOä3ZÏB(Ï
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu ... “(QS. An-Nisa : 59)
Kehujjahan ayat di atas adalah bahwa adanya pertentangan merupakan syarat dikembalikannya permasalahan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, syarat tersebut tidak akan ada bila telah terjadi kesepakatan terhadap
hukum yang diambil dari Kitab dan Sunah.
Oleh sebab itu, Ijmak tidak diragukan lagi bahwa Ijmak itu merupakan hujjah.
Keenam, hadis-hadis yang menunjukkan terjaganya Ijmak islam dari kesalahan bila bersepakat
dalam suatu perkara, diantaranya hadis-hadis di bawah ini yang artinya:
1.
“kekuatan Allah berada pada jamaah,
barang siapa menguatkannya, maka ia telah menyempitkan dirinya dari neraka.”
2.
“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan Ijmak
pada kesesatan.”
3.
“Tidak akan berkumpul Ijmak pada hal
yang salah.”
4.
“Tidak akan melihat kaum mukmin kepada
kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya baik.”
b)
KehujjahanIjmaksukuti
Ijmak sukuti telah dipertentangkan
kehujjahannya di kalangan para ulama. sebagian mereka tidak memandang Ijmak sukuti sebagai hujjahbahkan tidak
menyatakan sebagai Ijmak. Diantara mereka adalah pengikut imam Maliki dan imam
Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka
berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid
itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali.
Misalnya karena tidak melakukan ijtiihad pada suatu masalah atau takut
mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan bahwa itu qath’i atau dhanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dikatakan adanya
kesepakatan dari seluruh mujtahid.
Berarti tidak bisa dikatakan Ijmak ataupun dijadikan hujjah.
Sebagian besar
golongan Hanafi dan imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa Ijmak sukuti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya Ijmak sharih. Alasannya mereka adalah diamnya
sebagian mujtahid untuk menyatakan
sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh seebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi
persyaratan adanya Ijmak sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil
tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai Ijmak, karena
kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan
seebagai hujjah yang qath’i karena
alasannya juga menunjukkan adanya Ijmakyang tidak bisa dibedakan dengan Ijmak sharih.[5]
B.
Qiyas
1.
Pengertian
Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan lainnnya atau
penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan
definisi yang berbeda-beda bergantung
pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas
dalam istinbath hukum. Dalam hal ini,
mereka terbagi dalam dua golongan berikut
ini.
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas
merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid.
Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas
merupakan ciptaan syar’i, yakni
merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat Syar’Isebagai
alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas
ini tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid
ataupun tidak. (Abdul Hakim, 1986: 22-24)
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka mereka
memberikan definisi qiyas sebagai
berikut:
a)
Shadr
Asy-Syari’at menyatakan bahwa qiyas
adalah pemindahan hukum yang terdapat pada ashl
kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan
logika bahasa.
b)
Al-Humam menyatakan bahwa qiyas
adalah persamaan hukum suatu kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa
secara murni.
Sebenarnya,
masih banyak definisi lainnya yang dibuat oleh para ulama, namun secara umum qiyas adalah suatu proses penyingkapan
kesamaan hukum yang disebutkan dalam suatu nash,
dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash
karena adanya kesamaan dalam illat-nya.[6]
2.
Rukun Qiyas
Dari pengertian
qiyas yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas
terdiri atas empat unsur yang berikut:
a)
Ashl(pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya, yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ini berdasarkan
pengertian ashl menurut fuqaha.
Sedangkan ashl menurut hukum teolog
adalah suatu nash syara’yang
menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang mennjadi dasar hukum. Ashl
itu juga disebut maqis alaih (yang
dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul
alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah
bih (tempat menyerupakan).
b)
Far’u(cabang),yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Far’uitulah
yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl.Ia disebut juga maqis(yang
dianalogikan) dan musyabbah(yang
diserupakan).
c) Hukum ashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash.
d) Illat, yaitu suatu
sifat yang terdapat pada ashl. Dengan
adanya sifat itulah, ashl mempunyai
suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang
itu disamakanlah dengan hukum ashl.[7]
3.
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama
dari kalangan sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa qiyas itu bisa menjadi hujjah. Sedangkan Dawud Adh-Dhohiry dan Ibnu
Hazm, ulama-ulama syi’ah dan sebagian mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak menjadi hujjah.
Alasan jumhur
menerima qiyas menjadi hujjah adalah
mendasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
Didukung oleh
hadits muadz bin jabal tatkala diutus Nabi SAW. ke yaman, yang mana dasar hukum
yang dipakai adalah Al-Quran dan As-Sunnah dan Al-Ijtihad. Yang dikehendaki
dengan ijtihad menurut pandangan
golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya
menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni dengan cara mengqiyas. Dalam
hadits muadz tersebut tidaklah
diterangkan secara spesifik tentang urusan ibadah atau muamalah.
Sedangkan
alasan mereka yang menolak qiyas
sebagai hujjah adalah karena dalam Alquran dan As-Sunnah semua peristiwa sudah
ada ketentuan hukumnya baik tersurat
maupun tersirat, oleh kerenanya untuk memahami cukup dengan ijtihad. Apalagi
dalam urusan ibadah makhdlah, tata cara telah dicontohkan oleh nabi SAW.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Ijmak
adalah kesepakatan para mujahid dari kalangan umat islam tentang hukum syara’
pada suatu masa setelah Rasulullah wafat.
2. Syarat-syarat
Ijmak:
a. Yang
bersepakat adalah para mujahid.
b. Yang
bersepakat adalah seluruh mujtahid
c. Para
Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
d. Dilakukan
setelah wafatnya Nabi
e. Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan syari’at
3. Macam-macam
Ijmak:
a. Ijmak
Sharih (bersih atau murni)
b. Ijmak
Sukuti
4. Qiyas
ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain
yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya
kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
5. Rukun
Qiyas:
a. Ashl
b. Al-Far’u
c. ‘Illat
d. Hukum
al-Ashl
B.
SARAN
Bila terdapat sesuatu yang belum belum memiliki Dasar hukum dalam suatu
masalah baru maka Ijmak dan Qiyas dapat digunakan sebagai dasar pembentukan
hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmad
Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Satria
Effendi, Ushul Fiqh,(Jakarta: Prenada Media, 2005)
Syekh
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fikih,(Jakarta: Rineka Cipta,1995)
Saeful
Hadi, S.Pd.I, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Sabda Media,2009)
Andewi Suhartini, M. Ag, Ushul Fiqh
(Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2009)
Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Abdul Wahhab
Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Ilmu Ushul Fiqh) (Jakarta: Rajawali
Pers, 1991)
Muhammad
al-Ghazali, Bukan Dari Ajaran Islam (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1994)
Ahmad
Hanafi,Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang,
1970)
Mardani,Hukum Islam, (Jakarta : pustaka pelajar, 2010)
[2]. Ibid,.Hal. 70-72
[3]. Ibid., hal. 72
[4]. Ahmad Abdul Madjid, Ushul Fiqih, hal. 69
[6]. Ibid,. hal. 86-87
[7]. Ibid,. hal. 87-88
NB : Mohon kritik dan sarannya dari pembaca . Mohon maaf apabila terdapat kekurangan keterangan dan keterbatasan ilmu kami yang masih membutuhkan banyak kritik yang membangun. Semoga postingan makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Wassalamm... (Kher'ianah)